Sains Antariksa saat ini tengah menjadi sorotan. Riset ini mencakup berbagai hal, termasuk pengembangan teknologi pengukuran cuaca antariksa.
“Di luar angkasa, badai yang terjadi adalah badai energi bermuatan dari matahari yang dampaknya bisa terasa hingga ke teknologi yang kita gunakan sehari-hari,” kata Peneliti Ahli Muda Bidang Ionosfer, Pusat Riset Antariksa BRIN, Rizal Suryana, di Bandung, Kamis (3/7).
Rizal menjelaskan, aktivitas matahari, geomagnet, dan ionosfer merupakan tiga parameter utama dalam memprediksi cuaca antariksa. Perubahan pada parameter tersebut berpotensi memberikan pengaruh terhadap aktivitas kehidupan manusia, salah satunya sistem komunikasi, operasional satelit dan navigasi berbasis global positioning system (GPS).
Dampak cuaca antariksa juga sangat signifikan terhadap operasi satelit. Oleh karena itu, BRIN melakukan pengamatan melalui dua pendekatan utama, berbasis satelit (space-based) dan berbasis bumi (ground-based).
BRIN tengah mengembangkan teleskop di Observatorium Nasional Timau, Nusa Tenggara Timur yang mampu mengamati benda-benda langit dan satelit yang melintas di antariksa.
Upaya pengembangan peralatan riset juga terus dilakukan. Salah satunya Callisto berbasis software defined radio (SDR), yaitu alat pengamat cuaca antariksa untuk menerima frekuensi yang bersumber dari semburan matahari, memungkinkan pemantauan intensif sepanjang hari. Alat ini dapat mengetahui intensitas semburan, baik kecil, sedang, maupun besar.
“Teknologi ini lebih murah dan penggunaanya bisa dikuasai secara penuh,” sebut Rizal.
Dia menyampaikan bahwa BRIN menyediakan berbagai skema program beasiswa dan magang riset yang dapat diakses oleh mahasiswa yang tertarik mendalami sains dan teknologi, khususnya keantariksaan. Beasiswa ini menjadi bagian dari strategi BRIN membangun ekosistem talenta nasional di bidang riset dan inovasi.